RESENSI NOVEL "PULANG"
KARYA : TOHA MOHTAR
·
Judul buku : Pulang
·
Pengarang : Toha Mohtar
·
Penerbit : Pustaka Jaya
·
Tahun Terbit : 2001
·
Tebal : 20.5 cm
·
Jumlah halaman : 104
·
Jenis : Fiksi
·
Cetakan : ke 9
Sinopsis
Pemuda bertubuh
tegap, tinggi dan berkulit hitam bernama Tamin. Adalah seorang pengembara yang pernah menjadi heiho. Ia akhirnya bisa
pulang ke kampung halamannya yaitu di desa sekitar Gunung Wilis. Setelah tujuh
tahun lamanya, di sepanjang jalan menuju
rumahnya tidak ada perubahan dari keadaan desa yang pernah ditinggalkannya itu.
Setelah sampai dirumah, ayah, ibu dan adiknya bernama Sumi yang kini telah
beranjak dewasa menyambutnya dengan penuh suka cita. Dan malam itu dihabiskan
keluarga kecil itu dengan bercerita-cerita mengenai keadaan desanya, termasuk
kedua sahabat kecil Tamin yang telah tiada karena berjuang membela desanya dari
serangan penjajah. Kedua sahabatnya itu bernama Pardan dan Gamik.
Pagi-pagi
sekali Tamin mengambil arit dan hendak melihat keadaan kebunnya. Ketika
berjalan disamping rumahnya, ia melihat kandang sapi yang tak beratap
ditumbuhi rumput liar dan bajak dari
kayu yang sudah tak terawat. Tanpa berpikir panjang ia langsung merapikan
semuanya. Tarmin berniat ingin membeli seekor sapi esok hari karena selama
empat tahun kandang sapi itu tak berpenghuni, sekaligus membelikan sebuah baju
batik untuk adiknya. Namun disisi lain, tanah yang berupa satu petak sawah yang
dulu menjadi kebanggaan ayahnya telah berada ditangan orang lain. Dan satu-satunya
harapan ayahnya untuk kembalinya tanah itu adalah Tarmin seorang. Ia berusaha
agar tanah milik keluarganya dapat kembali.
Ia
pun mengurungkan niatnya untuk membeli sapi demi mengambil kembali tanah milik
keluarganya itu. Namun uang yang dimiliki tidak cukup untuk membeli tanah
tersebut. Akhirnya ia pun merelakan satu-satunya barang berharga yang
dimilikinya yaitu kalung emas milik almarhumah istrinya. Namun tentang janjinya
kepada sang adik tetap ia tepati. Pagi-pagi sekali Tamin dan Sumi pergi ke kota.
Menjelang luhur mereka pun sudah sampai dirumah dengan membawa sebuah baju dan tiga
ekor ayam. Tamin pun segera meletakkan ayam kekandang dan lalu pergi untuk
menebus tanah sawah yang dulu miliknya. Pelaksanaan penebusan pun berjalan
dengan lancar. Sejak saat itu Tamin rajin pergi kesawah dan Sumi yang
mengantarkan makanan ketika ia istirahat.
Siang
itu, ketika Tamin sedang memacul, Pak Banji memberitahukan bahwa akan
diadakannya perbaikan makam Gamik. Lalu mereka bercakap-cakap sampai akhirnya
menjelang petang, setelah selesai mandi, Tamin pun duduk di teras rumahnya.
Ibunya mendekatinya dan bertanya pengalaman apa saja selama tujuh tahun itu
selain perperang. Lama ia baru menjawab ia pernah menikahi seorang gadis
seumuran Sumi. Dan ketika sembilan bulan hamil dan hendak melahirkan, ia senang
akan menjadi seorang ayah. Namun Tuhan berkehendak lain, anak dan istrinya meninggal
di rumah bersalin. Mendengar cerita anaknya yang sangat mengharukan itu, ibunya
berkata bahwa ia sangat bangga bahwa sebenarnya ia sudah mempunyai seorang
cucu.
Malam
itu Tamin pergi ke pendapa untuk menghadiri acara perencanaan perbaikan makam
Gamik. Banyak sekali orang yang datang dan membicarakan tentang perjuangan
Gamik dan teman-temannya yang telah berjuang melawan Belanda demi
mempertahankan desanya. Ia sangat terkejut ketika ada yang bertanya tentang
pengalamannya ketika pergi merantau. Sebenarnya ia ingin menceritakan yang
sebenarnya bahwa ia adalah pasukan pembela Belanda ketika perang terjadi. Namun
itu sangat tidak mungkin untuk dikatakan, terpaksa ia harus mengarang cerita
bahwa ia juga membela negara Indonesia pada saat itu. Ketika pulang dari acara
pertemuan itu, pikirannya melayang kemana-kemana. Ia takut jika kebohongannya
itu terungkap. Karena terlalu memikirkan hal itu, ia pun jatuh sakit. Dan kabar
yang ia buat itu sampai di keluarganya, mereka selalu menyakan hal itu. Apalagi
Sumi yang memaksa ingin mendengarkan ceritanya. Namun Tamin tidak ingin
menceritakan hal itu. Sumi pun terus bertanya sambil tertawa. Karena merasa
jengkel, tak terasa Tamin pun menampar adik kesayangannya itu sampai terjatuh.
Ia terkejut dengan apa yang telah dilakukannya tadi. Dan lalu diciumlah pipi
yang telah ditamparnya tadi. Lalu ia berjalan keluar rumah melewati sawahnya
yang padinya mulai memasuki masa panen. Ia pun terus berjalan sampai keluar
dari desanya.
Matahari
telah berada di tengah-tengah dan selama itulah kakinya terus melangkah tak
tentu arah. Ketika merasa lelah, ia telah berada di pinggir bengawan. Ia pun
melihat ke dalam air dan berniat ingin mengakhiri hidupnya. Namun, ada seorang
nelayan yang menepuk pundaknya. Ia pun diajak nelayan itu ke laut untuk menaruh
geteknya. Di perjalanan mereka saling berbincang-bincang. Tamin berkata bahwa
ia iri melihat kebahagiaan nelayan yang mempunyai seorang anak dan istri. Namun
nelayan itu menjawab bahwa kebahagiaan itu terletak pada dasar hati masing-masing
orang. Dua hari dua malam ia tinggal bersama nelayan itu. Setelah berterima
kasih, ia pun melangkah menuju ke kota mencari pekerjaan untuk mempertahankan
hidupnya.
Empat
bulan lamanya, ia pergi dari desa. Matanya bertambah dalam dan wajahnya
bertambah keriput. Ia merasa telah lama
meninggalkan rumah. Perasaan rindu pun membayang di pikirannya. Pagi-pagi
ketika ia duduk di pojok gudang, ia bertemu seseorang yang tak asing baginya.
Orang itu dalah Pak Banji. Pak Banji menanyakan mengapa ia pergi dari desa dan
membawa sebuah kabar yang membuat Tamin sangat menyesal. Ayahnya telah tiada.
Betapa menyesalnya ia ketika mendengarnya. Tamin bergegas pulang ke desanya
dengan harapan yang baru. Bahwa ia pulang dan tak hendak pergi lagi. Sebelum
menemui Sumi dan ibunya, terlebih dahulu ia ke makam ayahnya.
Lama ia berdiri di depan makam ayahnya,
melihat orang yang dicintainya telah ditanam. Namun bayangan batuk-batuk
ayahnya seperti terdengar kembali. Akhirnya ia berjongkok dan berkata “Aku telah
pulang, Ayah!”. Lalu ia mencium nisan ayahnya. Ketika ia membalikkan badan,
Sumi berdiri dengan mata terbelalak tidak percaya. Tamin pun meminta maaf
tentang apa yang di lakukannya kepada adiknya. Esok hari adalah selamatan empat
puluh hari meninggalnya ayahnya. Lalu mereka melangkah meninggalkan pusaran
ayahnya.
Unsur
Intrinsik
1.
Tema
Mayor : Kebohongan
Tema Minor : Seorang pejuang negara Belanda yang
terpaksa berbohong kepada warga desanya.
2.
Alur :
Kilas balik
·
Perkenalan
Pemuda
bertubuh tegap, tinggi dan berkulit hitam bernama Tamin. Adalah seorang
pengembara yang pernah menjadi heiho
·
Mulai
muncul masalah
Ia
sangat terkejut ketika ada yang bertanya tentang pengalamannya ketika pergi
merantau. Sebenarnya ia ingin menceritakan yang sebenarnya bahwa ia adalah
pasukan pembela Belanda ketika perang terjadi. Namun itu sangat tidak mungkin untuk
dikatakan, terpaksa ia harus mengarang cerita bahwa ia juga membela negara
Indonesia pada saat itu.
·
Klimaks
Ketika
pulang dari acara pertemuan itu, pikirannya melayang kemana-kemana. Ia takut
jika kebohongannya itu terungkap. Karena terlalu memikirkan hal itu, ia pun jatuh
sakit. Dan beberapa hari kemudian ia memutuskan untuk meninggalkan desanya.
·
Anti
klimaks
Pagi-pagi
ketika ia duduk di pojok gudang, ia bertemu seseorang yang tak asing baginya.
Orang itu dalah Pak Banji. Pak Banji menanyakan mengapa ia pergi dari desa dan
membawa sebuah kabar yang membuat Tamin sangat menyesal yaitu Ayahnya telah
tiada.
·
Penyelesaian
Tamin
pun akhirnya pulang ke desanya dan berjanji tidak akan pergi lagi.
3.
Tokoh :
·
Tamin
·
Sumi
·
Ayah
Tamin
·
Ibu
Tamin
·
Pak
Banji
4.
Penokohan :
·
Tamin
: pekerja keras dan pembohong
Bukti
: “ia telah berada di sawah di waktu subuh dan pulang menjelang senja”.
(Halaman 51 paragraf 3) dan “ia tak hendak menceritakan yang sebenarnya, mereka
tak kan mengerti”. (Halaman 68 paragraf 2)
·
Sumi
: Pemaaf
Bukti
: “oh itu? Bagaimana aku bisa marah kepada mu? Aku telah lupa peristiwa itu”.
(Halaman 103 paragraf 2)
·
Ayah
Tamin : Penyayang
Bukti
: “lalu tangan tua itu terangkat ke atas kepala Tamin, membelai rambutnya
dengan penuh mesra”. (Halaman 38 paragraf 1)
·
Ibu
Tamin : Penyayang
Bukti
: “mata sejuk itu menatap wajah anaknya dengan penuh kasih sayang”. (Halaman 18
paragraf 3)
·
Pak
Banji : humoris
Bukti
: “ia terkenal di seluruh desa sebagai seorang periang, paling kaya tawa dan
dicintai karena kejenakaannya”. (Halaman 57 paragraf 1)
5.
Latar
:
·
Waktu
a.
Pagi
hari
Bukti :
“Pagi-pagi ketika suara pedati pertama menembus . . . . . Tamin telah
terbangun”. (Halaman 20 paragraf 1)
b.
Malam
hari
Bukti : “malam itu adalah pertama kali
Tamin menampakkan diri diantara orang ramai sejak kembali ke desanya”. (Halaman
65 paragraf 2)
c.
Siang
hari
Bukti : “menjelang lohor mereka telah
sampai di rumah kembali”. (Halaman 45 paragraf 6)
d.
Empat
bulan
Bukti : “empat bulan matanya bertambah
dalam, wajahnya bertambah kering”. (Halaman 96 paragraf 1)
·
Tempat
a.
Di
samping pagar
Bukti :”ia masih berdiri di samping
pagar”. (Halaman 8 paragraf 1)
b.
Di
pinggir sawah
Bukti : “sendiri Tamin di pinggir
sawah,di samping pematang yang masih tergenang air oleh hujan kemarin petang”. (Halaman
30 paragraf 7)
c.
Di
bengawan
Bukti : “ia duduk di tangga babakan
sebatang sungai kecil yang memuntahkan seluruh airnya ke bengawan”. Halaman 88
paragraf 2
d.
Di
pendapa kelurahan
Bukti : “pendapa kelurahan telah ramai”.
Halaman 65 paragraf 1
e.
Di
pojok gudang
Bukti : “pagi-pagi benar ketika ia
tengah duduk di pojok gudang ia melihat seorang yang telah tua berhenti di
hadapannya”. (Halaman 97 paragraf 3)
f.
Di
makam ayahnya
Bukti : “lama ia berdiri menghadap makam
ayahnya”. (Halaman 102 paragraf 1)
·
Suasana
a.
Nyaman
Bukti
: “seisi rumah duduk di atas tikar mendong tua, hidangan makan malam telah di
hidangkan”. (Halaman 15 paragraf 1)
b.
Menegangkan
Bukti : “mulaikah mereka menaruh
prasangka terhadap dirinya? Seperti terdakwa menghadapi tuduhan jaksa, ia duduk
tidak bergerak, matanya tunduk kebawah mengawasi tikar”. (Halaman 68 paragraf
2)
6.
Amanat
: Berbaktilah kepada kedua orang tua dan jangan memulai sesuatu dengan
kebohongan,
7.
Sudut
pandang : Orang ketiga serba tahu
8. Gaya bahasa :
Bahasa sehari-hari, namun terdapat beberapa kata yang
artinya agak sulit
dimengerti. Seperti heiho, cita, roda
cikar, gerilya, dan lain-lain.
Unsur
Ekstrinsik
1.
Nilai
sosial : Gotong-royong yang di lakukan warga desa
Bukti : “Jika pekerjaan gotong-royong
itu telah selesaiseluruhnya dan orang telah siap-siap untuk melakukan pembukaan
dengan upacara resmi”. (Halaman 76 paragraf 1)
2.
Nilai
budaya : Bergiliran menjaga desanya
Bukti : “malam itu dua kali mereka memutari
desa dengan tabuh tong-tong, membangunkan orang untuk memeriksa pojok
rumahnya”. (Halaman 82 paragraf 5)
3.
Nilai
sosial : Suka berbagi kepada tetangga
Bukti : “kita bagi buah-buah itu ke
tetangga nanti:. (Halaman 40 paragraf 6)
4.
Nilai
Pendidikan : Saling memaafkan
Bukti : “Oh itu? Bagaimana aku bisa
marah kepada mu? Aku telah lupa peristiwa itu”. (Halaman 103 paragraf 2)
Kebohongan seorang
heiho
·
Judul buku : Pulang
·
Pengarang : Toha Mohtar
·
Penerbit : Pustaka Jaya
·
Tahun Terbit : 2001
·
Tebal : 20,5 cm
·
Jumlah halaman : 104
·
Jenis : Fiksi
·
Cetakan : ke 9

Pemuda
bertubuh tegap, tinggi dan berkulit hitam bernama Tamin. Adalah seorang
pengembara yang pernah menjadi heiho. Ia
akhirnya bisa pulang ke kampung halamannya yaitu di desa sekitar Gunung Wilis.
Setelah tujuh tahun lamanya, di sepanjang
jalan menuju rumahnya tidak ada perubahan dari keadaan desa yang pernah
ditinggalkannya itu. Setelah sampai dirumah, ayah, ibu dan adiknya bernama Sumi
yang kini telah beranjak dewasa menyambutnya dengan penuh suka cita. Dan malam
itu dihabiskan keluarga kecil itu dengan bercerita-cerita mengenai keadaan
desanya, termasuk kedua sahabat kecil Tamin yang telah tiada karena berjuang
membela desanya dari serangan penjajah. Kedua sahabatnya itu bernama Pardan dan
Gamik.
Pagi-pagi
sekali Tamin mengambil arit dan hendak melihat keadaan kebunnya. Ketika
berjalan disamping rumahnya, ia melihat kandang sapi yang tak beratap
ditumbuhi rumput liar dan bajak dari
kayu yang sudah tak terawat. Tanpa berpikir panjang ia langsung merapikan
semuanya. Tarmin berniat ingin membeli seekor sapi esok hari karena selama
empat tahun kandang sapi itu tak berpenghuni, sekaligus membelikan sebuah baju
batik untuk adiknya. Namun disisi lain, tanah yang berupa satu petak sawah yang
dulu menjadi kebanggaan ayahnya telah berada ditangan orang lain. Dan
satu-satunya harapan ayahnya untuk kembalinya tanah itu adalah Tarmin seorang.
Ia berusaha agar tanah milik keluarganya dapat kembali.
Ia
pun mengurungkan niatnya untuk membeli sapi demi mengambil kembali tanah milik
keluarganya itu. Namun uang yang dimiliki tidak cukup untuk membeli tanah
tersebut. Akhirnya ia pun merelakan satu-satunya barang berharga yang
dimilikinya yaitu kalung emas milik almarhumah istrinya. Namun tentang janjinya
kepada sang adik tetap ia tepati. Pagi-pagi sekali Tamin dan Sumi pergi ke
kota. Menjelang luhur mereka pun sudah sampai dirumah dengan membawa sebuah
baju dan tiga ekor ayam. Tamin pun segera meletakkan ayam kekandang dan lalu
pergi untuk menebus tanah sawah yang dulu miliknya. Pelaksanaan penebusan pun
berjalan dengan lancar. Sejak saat itu Tamin rajin pergi kesawah dan Sumi yang
mengantarkan makanan ketika ia istirahat.
Siang
itu, ketika Tamin sedang memacul, Pak Banji memberitahukan bahwa akan
diadakannya perbaikan makam Gamik. Lalu mereka bercakap-cakap sampai akhirnya
menjelang petang, setelah selesai mandi, Tamin pun duduk di teras rumahnya.
Ibunya mendekatinya dan bertanya pengalaman apa saja selama tujuh tahun itu
selain perperang. Lama ia baru menjawab ia pernah menikahi seorang gadis
seumuran Sumi. Dan ketika sembilan bulan hamil dan hendak melahirkan, ia senang
akan menjadi seorang ayah. Namun Tuhan berkehendak lain, anak dan istrinya
meninggal di rumah bersalin. Mendengar cerita anaknya yang sangat mengharukan
itu, ibunya berkata bahwa ia sangat bangga bahwa sebenarnya ia sudah mempunyai
seorang cucu.
Malam
itu Tamin pergi ke pendapa untuk menghadiri acara perencanaan perbaikan makam
Gamik. Banyak sekali orang yang datang dan membicarakan tentang perjuangan
Gamik dan teman-temannya yang telah berjuang melawan Belanda demi
mempertahankan desanya. Ia sangat terkejut ketika ada yang bertanya tentang
pengalamannya ketika pergi merantau. Sebenarnya ia ingin menceritakan yang
sebenarnya bahwa ia adalah pasukan pembela Belanda ketika perang terjadi. Namun
itu sangat tidak mungkin untuk dikatakan, namun terpaksa ia harus mengarang
cerita bahwa ia juga membela negara Indonesia pada saat itu. Ketika pulang dari
acara pertemuan itu, pikirannya melayang kemana-kemana. Ia takut jika
kebohongannya itu terungkap. Karena terlalu memikirkan hal itu, ia pun jatuh
sakit. Dan kabar yang ia buat itu sampai di keluarganya, mereka selalu menyakan
hal itu. Apalagi Sumi yang memaksa ingin mendengarkan ceritanya. Namun Tamin
tidak ingin menceritakan hal itu. Sumi pun terus bertanya sambil tertawa.
Karena merasa jengkel, tak terasa Tamin pun menampar adik kesayangannya itu
sampai terjatuh. Ia terkejut dengan apa yang telah dilakukannya tadi. Dan lalu
diciumlah pipi yang telah ditamparnya tadi. Lalu ia berjalan keluar rumah
melewati sawahnya yang padinya mulai memasuki masa panen. Ia pun terus berjalan
sampai keluar dari desanya.
Matahari
telah berada di tengah-tengah dan selama itulah kakinya terus melangkah tak
tentu arah. Ketika merasa lelah, ia telah berada di pinggir bengawan. Ia pun
melihat ke dalam air dan berniat ingin mengakhiri hidupnya. Namun, ada seorang
nelayan yang menepuk pundaknya. Ia pun diajak nelayan itu ke laut untuk menaruh
geteknya. Di perjalanan mereka saling berbincang-bincang. Tamin berkata bahwa
ia iri melihat kebahagiaan nelayan yang mempunyai seorang anak dan istri. Namun
nelayan itu menjawab bahwa kebahagiaan itu terletak pada dasar hati
masing-masing orang. Dua hari dua malam ia tinggal bersama nelayan itu. Setelah
berterima kasih, ia pun melangkah menuju ke kota mencari pekerjaan untuk
mempertahankan hidupnya.
Empat
bulan lamanya, ia pergi dari desa. Matanya bertambah dalam dan wajahnya
bertambah keriput. Ia merasa telah lama
meninggalkan rumah. Perasaan rindu pun membayang di pikirannya. Pagi-pagi
ketika ia duduk di pojok gudang, ia bertemu seseorang yang tak asing baginya.
Orang itu dalah Pak Banji. Pak Banji menanyakan mengapa ia pergi dari desa dan
membawa sebuah kabar yang membuat Tamin sangat menyesal. Ayahnya telah tiada.
Betapa menyesalnya ia ketika mendengarnya. Tamin bergegas pulang ke desanya
dengan harapan yang baru. Bahwa ia pulang dan tak hendak pergi lagi. Sebelum
menemui Sumi dan ibunya, terlebih dahulu ia ke makam ayahnya.
Lama ia berdiri di depan makam ayahnya,
melihat orang yang dicintainya telah ditanam. Namun bayangan batuk-batuk
ayahnya seperti terdengar kembali. Akhirnya ia berjongkok dan berkata “Aku
telah pulang, Ayah!”. Lalu ia mencium nisan ayahnya. Ketika ia membalikkan
badan, Sumi berdiri dengan mata terbelalak tidak percaya. Tamin pun meminta
maaf tentang apa yang di lakukannya kepada adiknya. Esok hari adalah selamatan
empat puluh hari meninggalnya ayahnya. Lalu mereka melangkah meninggalkan
pusaran ayahnya.
Buku
ini memberikan banyak pelajaran berharga tentang betapa pentingnya sebuah
kejujuran, dari penggambaran tokoh Tamin sendiri mengajari kita agar berani
menghadapi apapun dan memotivasi kita kita untuk terus semangat dalam berjuang.
Namun, karena tidak adanya gambar (ilustrasi) pada novel ini membuat pembaca
harus berimajinasi sendiri.
Dalam
dialog ataupun narasi di buku ini menggunakan bahasa sehari-hari, namun ada
beberapa kata yang digunakan di zaman perang melawan Belanda yang artinya agak
sulit dimengerti. Seperti heiho, roda cikar, gerilya, dan lain-lain.
Dari
novel ini kita juga belajar arti dari sebuah perjuangan dalam meraih cita-cita
dan impian yang kita damba-dambakan. Jadi, untuk seseorang yang sedang putus
asa dan kehilangan semangatnya, novel ini layak dikonsumsi untuk membangkitkan
semangat dan menambah inspirasi. Seperti Tamin yang pernah putus asa dan memutuskan
untuk meninggalkan desa namun akhirnya
ia kembali ke desa nya.
23.00 | Label: Resensi Novel | 0 Comments
Langganan:
Postingan (Atom)
Total Tayangan Halaman
Diberdayakan oleh Blogger.